Di Era Jokowi, Korupsi dan Pencucian Uang Dinilai Tak Terkendali

Di Era Jokowi, Korupsi dan Pencucian Uang Dinilai Tak Terkendali

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Korupsi dan pencucian uang alias money laundering dinilai tak terkendali di era Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Padahal, Indonesia menandatangani konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi pada 2003, dan meratifikasinya melalui UU Nomor 7 tahun 2006.

Akan tetapi, menurut Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), undang-undang untuk mendukung konvensi PBB melawan korupsi tersebut tidak kunjung selesai.

“Artinya, Indonesia dianggap tidak serius melawan korupsi, dan tindak pidana lainnya, seperti kejahatan lingkungan, judi ilegal, pertambangan ilegal, perdagangan manusia, dan banyak lainnya,” katanya di Jakarta, Minggu (16/4/2023).

Menurut dia, untuk mendukung konvensi PPB melawan korupsi dan kejahatan keuangan lainnya, diperlukan UU Anti Korupsi, UU Anti Pencucian uang, dan khususnya UU Perampasan Aset.

Indonesia, diakui Anthony, memang sudah memiliki UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). “Tetapi, kedua UU tersebut tidak cukup untuk mengungkap hasil korupsi dan pencucian uang internasional yang masuk ke Indonesia,” timpal dia.

Artinya, sambung Anthony, UU Indonesia tidak mampu menyita aset hasil kejahatan internasional. “Jangankan internasional, menyita aset koruptor atau kejahatan keuangan asal dalam negeri saja susah,” tukasnya.

Pengampunan Pajak dan Pencucian Uang

Bukannya memperkuat konvensi PBB dalam melawan korupsi dan pencucian uang internasional, menurut Anthony, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Presiden Jokowi malah menyediakan fasilitas Pengampunan Pajak alias Tax Amnesty 2016/2017 dan 2022. “Yang intinya, sama dengan pencucian uang secara legal, difasilitasi pemerintah,” tuturnya.

Fasilitas ‘pencucian uang’ ini sangat cepat disetujui DPR dan disahkan menjadi UU Pengampunan Pajak. “Tentu saja, seperti disampaikan Bambang Pacul dari PDIP, persetujuan DPR pasti sudah mendapat restu dari para Ketua Umum Partai Politik. Sebaliknya, UU Perampasan Aset terbengkalai sejak 2006,” timpal Anthony.

Sejak 2009, laporan PPATK terkait dugaan pencucian uang di Kemenkeu juga tidak ada tindak lanjut. Semua pihak mencari alasan pembenaran. “Intinya, Jokowi, Sri Mulyani, DPR bersama Ketum Parpol, sudah melakukan tindakan yang berlawanan dengan konvensi PBB melawan korupsi,” tandasnya.

Lebih jauh ia menjelaskan, uang judi ilegal Rp155 triliun terkuak, tetapi tidak digubris. “Tambang ilegal terbongkar, juga tidak digubris. Tiba-tiba meledak dugaan pencucian uang yang melibatkan pegawai Kemenkeu senilai Rp349 triliun,” papar dia.

Sri Mulyani dan Jokowi Tertekan

Menruut Anthony, Sri Mulyani dan Jokowi berada dalam tekanan. “Indonesia dikucilkan. Keuangan untuk Indonesia terkunci,” ujarnya.

Salah satu indikasinya, sambung dia, adalah program insentif mobil listrik Amerika Serikat yang tidak termasuk menggunakan komponen baterai Indonesia.

Begitu juga dengan dana untuk transformasi energi Indonesia senilai US$20 miliar yang tidak kunjung turun.

“Luhut (Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan) tergopoh-gopoh terbang ke AS. Untuk apa? Semua usaha Luhut dan pemerintah Indonesia akan sia-sia, selama Indonesia dianggap tidak serius melawan korupsi dan pencucian uang, sesuai konvensi PBB Melawan Korupsi,” timpal dia.

Sumber: inilah
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita